Ia bernama Heri. Seorang anak dengan kemampuan kinestetis yang luar biasa, dan terkandang bisa berlebihan. Heri, begitu ia biasa disapa. Saat ini ia duduk di kelas IV SDN Tambora, sekolah dimana aku mengabdi selama setahun ini. Heri merupakan anak yang senang bergerak. Tubuh kecilnya selalu berlari dan melompat kesana kemai. Melompati bebatuan, memanjat pohon, hingga membunuh berbagai hewan berbahaya seperti ular atau kalajengking. Ya, dibesarkan di hutan menjadikan Heri memiliki kecerdasan naturalis yang hebat disamping fisik yang juga kuat.
Tiga bulan pertama, aku mendapat amanah menjadi wali kelas lima. Karena keterbatasan kelas, kelas lima dirangkap bersama kelas empat. Sesuai dengan perjanjian pembagian tugas bersama wali kelas empat, aku mengajar Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris untuk kelas empat dan lima. Aku tentu menghadapi Heri dan ya, terbukti, Heri memang murid yang luar biasa aktif dan cepat bosan. Ia memang memiliki potensi di bidang Matematika, sebagaimana selalu berkata "Saya bisa bu! kalau hitung-hitungan, Heri jagonya!"Di bidang-bidang lain Ia sebenarnya memiliki kemampuan yang juga rata-rata. Namun, apabila ada keributan, sudah hampir pasti ia pelakunya. Tidak hanya bertengkar di kelas hingga membuat nangis temannya, tapi juga keributan di kelas lain.
Di bulan-bulan pertama aku mengajar, aku sempat mendengar kisah tentang Heri. Banyak guru berkata bahwa ia adalah murid yang 'unik'. Sulit diatur, senang tertawa, suka mengganggu temannya. Beberapa guru bahkan kesal sampai ke ubun-ubun dan berkata menyerah menghadapi Heri.Heri memang kerap kali memberiku pelajaran. Pelajaran untuk menahan diri, untuk sabar, untuk mengahadapi anak-anak yang naik emosinya karena ulahnya. Tidak hanya itu, Heri juga sering memberiku 'hadiah'.
Hadiah pertama ia berikan di bulan ketiga aku hidup bersama jagoan-jagoan SDN Tambora ini. Keadaan ekonomi desa kami memang tidak begitu baik. Banyak anak-anak yang harus bekerja untuk bisa jajan. Salah satu hal yang biasa mereka lakukan adalah 'leles'. Leles ini merupakan aktivitas mengambil buah-buah kopi yang jatuh di tanah, atau mengambil satu-dua buah kopi yang tertinggal tidak terpetik saat panen. Leles selama satu hingga dua jam, anak-anak bisa mendapatkan kopi hingga 3 kobok, yang bisa dijual ke warung Ina Ryan seharga 4000 rupiah. Terkadang aku terenyuh melihat perjuangan mereka. Aku memang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, namun aku tak pernah harus bekerja dua jam di tengah kebun untuk membeli kerupuk atau wafer.
Ketika itu, musim panen kopi hampir berlalu. Seperti biasa, aku menempuh 1 jam jalan kaki pulang sekolah bersama anak-anak. Sambil berjalan, mereka terkadang memungut satu-dua biji kopi untuk dikumpulkan agar mereka bisa membeli jajanan. Hari itu ada Heri di rombongan-pulang-sekolah-ku. Ia kadang melesat masuk ke tengah kebun, kemudian menyusul kami lagi. Lewat setengah perjalanan, ia memamerkan padaku segenggam kopi matang berwarna merah tua.
"Lihat bu, kopi ini cantik sekali ya! Adanya di bagian-bagian dalam bu, tidak terpetik sampai tuaaaa sekali! Ini yang kualitasnya paling bagus bu, matang pohon!" ocehnya dengan logat dan aksen cadel yang khas.
"Wah iya! merah sekali ya! Bagus!" ucapku.
"Ini bu, buat Ibu dah!" kata Heri sambil mengajukan genggaman kecilnya padaku.
"Eh jangan! Sudah Heri bawa saja! Lumayan tuh bisa dapat setengah kobok,"
"Engga bu, Ibu bawa dah!"
"Dengar, kalau Heri kan bisa Heri jual buat jajan. Kalau Ibu buat apa hayo?" tanyaku padanya
"Kan buat diminum bu! Ini kan paling enak! Atau buat apa-apa dah bu!"
"Betul nih? yasudah, Ibu simpan. makasih ya!"
Hingga saat ini, aku masih tak tau harus aku apakan segenggam kopi itu. Namun hingga saat ini biji-biji itu mengering, aku masih menyimpannya.
Hadiah kedua. Ketika itu aku sedang berjalan menuju warung di ujung kampung. Dari kejauhan, aku melihat Heri sedang memanjat pohon Groso di pekarangan, sejenis markisa. Susah payah aku melihatnya mendapatkan sebuah Groso besar dan matang.Ia tengah bersiap membuka Groso itu ketika aku lewat di depan rumahnya. "Bu Guru!" ia menyapaku lantang, yang aku balas dengan senyuman. Ia kemudian berlari mengejarku dan menyodorkan Groso tersebut, "Buat Ibu."Seperti biasa, aku tak tega mengambil jerih payahnya, "Jangan, Heri makan sudah," ucapku."Engga bu, ini memang buat Bu Guru," ucapnya sambil memberikan Groso itu ke tanganku kemudian ia lari masuk.
Hadiah berikutnya ia berikan juga di perjalanan pulang sekolah. Jenuh dengan jalan yang itu-itu saja, anak-anak mengajakku melintasi kebun kopi. Aku ikut saja merunduk-runduk di bawah pohon hingga tiba-tiba karet rambutku tersangkut. Kuciranku buyar. Aku kemudian berhenti sejenak dan mencari-cari karet hitamku di guguran daun kopi. Anak-anak segera berbalik dan membantuku."Sudah, jalan sudah, nanti Bu Guru ada karet lagi di rumah," ucapku setelah beberapa lama kami mencari. Kami pun melanjutkan perjalanan. "Tunggu, mana Heri?" tanyaku setelah beberapa lama sadar kalau ia menghilang."Wah mana bu, dimana mungkin dia!" saut anak-anak. Aku segera kembali mencari ke kolong-kolong kopi. Ia ternyata masih disana, mengais daun mencari-cari karet rambutku."Heri, yuk pulang!" ajakku."Tapi ikat Bu Guru jatuh," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari tanah."Pulang sudah. Karet rambut Bu Guru warnanya hitam, sulit dicari di guguran daun. Ga papa, yuk pulang sudah siang," ajakku sambil menggandeng tangannya.Dan banyak hadiah-hadiah lainnya.Hadiah yang mungkin nilainya kecil dan fisiknya bisa habis, namun meninggalkan jejak yang tak lekang di hatiku.
Saat ini aku tidak lagi menjadi wali kelas karena guru-guru sepakat untuk memegang kelas-kelas tanpa peranan Pengajar Muda, demi mempersiapkan keberlanjutan. Intensitasku bertemu Heri sedikit berkurang. Aku senang sekali mendapatkan hadiah-kecil-yang-memberi-suntikan-semangat-besar seperti yang kerap aku dapatkan dari Heri maupun jagoan-jagoanku yang lain.
Kalau aku boleh meminta satu hadiah lagi, selain pisang super besar yang ia dapat dari panen dan seharusnya ia jual namun malah diberikan gratis padaku, selain usahanya mengais paku untuk memajang foto hadiah dariku saat pameran bagi rapot, dan selain hal-hal manis lainnya, aku ingin satu hadiah lagi.
Aku ingin cerita bahagia.
Aku ingin dua puluh tahun lagi, teleponku berbunyi. Aku ingin pintu rumahku di seberang pulau diketuk. Aku ingin dengar dari jagoan-jagoanku, bahwa mereka telah menaklukan rintangan ekonomi. Bahwa mereka telah mengenyam ilmu sekolah tinggi. Bahwa mereka telah melihat dunia, yang tidak melulu hutan dan lereng gunung. Bahwa mereka kini telah sukses. Bahwa mereka telah memilih masa depan,yang tidak harus kebun kopi.
Aku ingin melihat pancaran bahagia dari bola mata cemerlang mereka. Aku ingin mendengar ocehan bersemangat yang tidak ada putus-putusnya.Jauh dari bagian terdalam hatiku, aku sungguh ingin cerita bahagia itu.
Semoga.
0 comments