Tiga Hari untuk Selamanya (Part I)

By aghnia mega safira - February 13, 2016




“Jadi Muksin punya utang 14 sama Bu Guru. Terus Muksin punya uang 9 untuk bayar. Sekarang Muksin punya berapa?”

“Punya 5 Bu,” jawabnya setelah sekian lama berpikir, lengkap dengan kerutan di dahi.

“Pintar. Lima-nya min atau plus?” tanyaku lagi. 

Aku sudah tak lagi mengindahkan penggunaan bahasa yang benar, negatif-positif, setelah sekian kali menggunakan terminologi itu dan malah menambah kebingungan di kepalanya. Aku mengalah menggunakan kata yang ia pahami, min dan plus. Uang dan utang.

“Plus, Bu”

Aku menghela napas. Kesekian kali, kesekian soal, belum masuk rupanya pemahaman garis bilangan ini ke otaknya yang sebenarnya cemerlang itu.





“Loh, tadi kan utangnya 14. Dibayar 9. Berarti yang tinggal 5 itu uangnya atau utangnya?”

“Utang bu. Min ding bu! Min bu! Min! Min! Alaee…. Salah tadi saya bu!”

“Pintar. Ada jawabannya disitu?”

Menggunakan terminologi uang dan utang ternyata cukup membantu. Anak didikku, Muksin, adalah murid kelas VI. Di umurnya yang masih sangat belia ini, ia sudah paham bagaimana mencari uang untuk membantu perekonomian keluarga. Tangannya tangkas memetik buah-buah kopi saat ia menjadi buruh harian petik. Matanya awas saat melihat buah kopi jatuh diantara pepohonan saat ia leles (memunguti buah-buah kopi yang jatuh di kebun untuk dikumpulkan dan dijual).

Hari ini adalah hari pertama dalam perjalanan perjuangan kami. Aku mendaftarkan namanya sebagai kandidat penerima salah satu beasiswa dari LSM di Indonesia. Apabila berhasil, ia akan bersekolah gratis di Bogor. Ia akan pergi ke Jawa. Ia akan melihat dan membaui ibukota. Ia akan punya kesempatan memilih masa depan. Bahwa cita-cita tak melulu petani kopi seperti ayahnya, atau kakaknya, atau pamannya, atau semua orang lainnya yang kebanyakan memang jadi petani.

Perjalanan kami dimulai hari ini. Kemarin, aku mendapat kabar bahwa ia lolos seleksi berkas dan harus mengikuti ujian kemampuan akademik di kabupaten sebelah dua hari lagi. Setelah selesai membereskan urusan menginap-dimana-minta-uang-dan-ijin-kepsek dan urusan administratif lain, aku segera pulang ke desa. Menembus jalan becek dan hujan deras. Beberapa kali motor tergelincir. Aku hanya tertawa-tawa di boncengan motor bapak angkatku. Aku yakin, perjalanan sore ini akan sepadan. Demi Muksin.

Malam ini adalah sesi pertama pelajaran kami. Tadi sore aku memberi kisi-kisi materi agama, berharap ia membaca walau sedikit, sebelum kami belajar malam ini. Sebenarnya aku sempat kecewa ketika melihat ia bermain di kampung senja tadi. Aku takut aku hanya sendirian menghadapi euforia Muksin-lolos-seleksi-berkas-ini. Namun ternyata aku salah. Ia lancar mengerjakan soal agama yang aku berikan, katanya tadi sudah baca.

Sesi agama aku lanjutkan dengan jeda sebelum masuk ke momok kebanyakan anak SD, matematika. Jeda aku isi dengan mengajaknya melakukan manajemen harapan dan kekhawatiran. Ketika membaca kekhawatirannya, aku berjanji untuk membantu mengatasi segala masalah yang ia khawatirkan. Aku akan ijin pada orangtuanya, aku akan menemaninya naik bis, dan aku akan melindungi buku-bukunya apabila hujan turun saat kami di jalan. Sebagai ‘imbalan’, aku memintai ia untuk membantuku mengatasi kekhawatiranku. Dengan tatapan matanya yang cemerlang dan senyum malu-malu yang terukir, ia berjanji tidak akan berhenti berjuang dan bersemangat.

***

“Iya Bu, semoga ini memang jalannya Muksin. Supaya dia ndak seperti Bapaknya. Hanya jadi petani saja.”
“Amin Pak, amin, semoga ini rezekinya Muksin. Saya titip doa ya pak, semoga besok Muksin lancar ngerjain ujiannya, semoga semua prosesnya lancar.”
Lunas sudah salah satu janjiku pada Muksin. Aku menghapus lenyap kekhawatirannya bahwa orangtuanya tidak mengijinkan ia pergi.
Di hari kedua ini, aku melihat juga usahanya memenuhi janji padaku. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk tetap fokus pada pelajaran yang aku berikan. Untuk ukuran anak super kinestetis seperti ia, menukar waktu bermain plus jahil-tertawa-tawa dengan belajar keras adalah sesuatu yang luar biasa.

Hari ini kami melibas materi agama dan Bahasa Indonesia, meski masih terus merangkak di matematika. Hari ini aku juga menceritakan konsep berjuang bouncing back ala Handry Santiago. Melalui pemahaman pantulan bola pingpong, karena di Tambora tak ada bola bekel, aku memasukkan konsep resiliens ke benak dua belas tahun miliknya.

“Bersemangat Bu. Semangat mengerjakan soal, semangat belajar,” jawab Muksin saat aku tanya apa itu berjuang.

“Ya, semangat! Berjuang itu harus seperti bola pingpong, kalau bola pingpong jatuh makin keras, pantulannya makin rendah atau makin tinggi?”

“Makin tinggi, Bu”

“Ya, makin tinggi! Kita juga harus gitu ya, kalau dari tadi susaaaah sekali belajar matematika, jangan berhenti! Harus terus dicoba! Besok kamu mengerjakan soal juga gitu. Kalau susah, lewati! Cari soal lain! Nanti kalau ada waktu kembali.

“Termasuk beasiswa ini ya, Sin. Kita sama-sama berjuang dan bekerja supaya Muksin bisa lolos. Kalau nggak lolos gapapa ya, jangan patah semangat! Harus memantul makin tinggi supaya seperti bola pingpong. Tapi tentu saja Ibu mau Muksin lolos. Kita berdoa ya, Sin.”

“Iya Bu.”

Bukan, bukannya aku mau ia tidak lolos. Aku ingin, dengan sepenuh hatiku, aku ingin sekali ia bisa lolos. Aku ingin sekali ia mendapatkan lingkungan belajar yang lebih baik. Aku ingin sekali ia mendapatkan kesempatan meraih masa depan yang lebih tinggi. Aku ingin ia memiliki pilihan jalan cita-cita yang lebih lurus. Tidak mendaki-membelok-menurun seperti jalanan di Kampung kami.
Namun aku ingin ia belajar arti perjuangan sejak kini. Aku ingin ia memahami apa yang selama ini hanya bisa aku baca teorinya di buku.
Karena sebenarnya, ia yang sudah mengajarkanku arti berjuang secara nyata di kehidupan.
Senyata saat ia datang untuk belajar di tengah hujan besar lereng Tambora. Senyata saat ia pergi ke ladang saat hujan lebat untuk kembali lagi ke kampung, juga menembus hujan lebat, dan membawa Bapaknya ke rumahku. Senyata saat ia tidak menyerah mempelajari satu soal selama hampir setengah jam. Dua hari menggembleng Muksin, tanpa ia sadar, ia juga telah menggembleng hatiku.
Ia mengajarkan apa sebenarnya arti berjuang.
***
Sejak awal, aku memang sudah menaruh hati pada anak ini. Ketika pertama kali jalan ke sekolah, aku mengingat bagaimana ia selalu tersenyum saat melihat aku menertawakan tingkah teman-temannya. Aku mengingat bagaimana ia selalu enggan malu-malu menggandengku, mungkin merasa ia sudah besar, namun aku selalu menangkap mata ia sedang curi-curi pandang. Aku mengingat janjinya untuk belajar meraih cita-cita, dan kelak mengunjungi rumahku di Jawa. Aku mengingat tatapan matanya yang tajam dan cemerlang, aku sungguh ingat derai tawanya yang terkekeh-kekeh disertai ekspresi yang begitu bahagia.
Aku ingin ia berhasil. Aku sungguh ingin.
Seperti kata-kata yang selalu aku sampaikan padanya saat ia selesai belajar, “Berdoa, ya.”
Bismillahirrahmanirrahim.
Seperti kata-kata yang disampaikan Bapaknya Muksin yang menggunakan baju basah karena berjalan hujan-hujan dari ladang, “Semoga ini memang jalannya Muksin.”
Amin. Amin Ya Rabbal Alamin.




  • Share:

You Might Also Like

0 comments