Namanya Muksin. Satu kata itu saja. Sederhana.
Sesederhanan pakaian-pakaian sehari-hari yang dimilikinya. Sesederhana alat-alat sekolah yang ia pakai. Sesederhana lauk makan (tidak selalu tiga kali sehari) yang kadang-kadang hanya nasi dengan air garam.
Aku jadi teringat percakapan kami di tengah perjalanan satu jam kami ke sekolah. Saat itu, ia berkata ingin ikut aku ke Jawa.
“Saya mau ke Jawa karena saya mau sekolah sih Bu. Kalau saya disini, saya pasti op sekolah Bu. Kemarin Bapak bilang, kalau saya sudah selesai SD ini, saya disuruh op sekolah bu. Ndak disuruh saya sekolah lagi. Tapi saya ndak mau bu.”
“Terus kamu bilang nggak sama Bapak, kamu mau terus sekolah?”
“Bilang ni Bu! Tapi bapak diam saja.”
“Kenapa kamu mau sekolah, Sin? Jadi petani aja ni,”
“Nggak mau Bu, saya kan mau jadi Guru.”
“Kenapa mau jadi Guru?
“Supaya kayak Bu Guru. Supaya bisa membagikan ilmu.”
Saat ini, Muksin duduk di kelas VI SDN Tambora, sekolah dimana aku bertugas sebagai Pengajar Muda dalam setahun terakhir. Aktivitas Muksin sepulang sekolah adalah membantu orangtua berladang, mengaji setiap magrib dan subuh (tidak pernah absen kecuali sedang sakit gigi atau mabuk sepulang perjalanan lomba ke Bima bersamaku), dan belajar (kadang membaca sendiri di rumah, lebih sering belajar malam di rumahku).
Kerja keras Muksin dalam belajar perlahan mulai berbuah. Dari yang dulunya mengerjakan garis bilangan masih tertatih, sekarang perkalian belasan kali satuan sudah tangkas tanpa perlu bantuan kertas dan pena. Di kelas, prestasinya juga meningkat drastis. Bulan kemarin, Muksin dua kali menempuh enam jam ke pusat kabupaten (dengan mabuk darat khas anak desa yang perlahan mulai sirna) untuk mengikuti panggilan tes tahap III seleksi beasiswa Smart Ekselensia Indonesia dan Semifinal Olimpiade Sains Kuark. Hapalan surat pendek, menjadi imam, adzan, dan lafaz mengaji, insya Allah terus meningkat. Jangan tanya soal kemampuan interpersonal dan ketulusan membantu, sudah menjadi bakatnya sejak kecil.
Tes beasiswa bergengsi dari salah satu LSM terkenal itu memang ia tidak lolos. Berhenti di psikotes (aku yakin itu hal yang sungguh baru bagi anak desa sepertinya, cerita tentang perjuangan beasiswa bisa dibaca dalam seri Tiga Hari untuk Selamanya di blog ini). Namun, Aku dan teman-teman Pengajar Muda 5 Generasi SDN Tambora, bersama beberapa teman kuliah dan teman-teman kami dari berbagai kalangan dan lingkaran, memiliki niat baik agar Muksin bisa terus bersekolah.
Kami akan membawa Muksin untuk bersekolah di Pondok Pesantren Darut Tholibin, Desa Sukawangi, Kecamatan Singajaya, Garut, Jawa Barat. Muksin akan tinggal bersama orangtua dari salah satu rekan Pengajar Muda yang juga adalah Wakil Kepala Sekolah pesantren tersebut. Alasan kami memilih desa tersebut, juga agar membantu transisi Muksin dengan pengawasan yang ketat. Dari yang tadinya hidup di sudut negeri, kaki Gunung Tambora, ke pulau beribu kesempatan, Pulau Jawa. Harapan kami, saat kelak ia makin matang, ia bisa sekolah atau kuliah di kota besar.
Gambaran kami, kami akan menyisihkan sejumlah uang setiap bulan untuk menghidupi Muksin dan mimpinya. Muksin adalah tabungan masa depan kami, baik tabungan harapan masa depan bangsa yang lebih baik, maupun tabungan akhirat kami, insyaallah.
Saya bercerita tidak secara kaku meminta anda harus berdonasi atau iuran uang setiap bulan, tahun, atau bentuk ‘harus’ lainnya. Ketika anda tahu mengenai Muksin dan terbersit dalam pikiran anda untuk membantu, silakan hubungi saya. Apabila anda ingin detail kebutuhan bulanan dan tahunan Muksin lebih lanjut, silakan mengakses Bit.ly/AnggaranMuksin1603 atau silakan hubungi saya. Ikut iuran uang, atau ingin membantu dalam bentuk lain, jangan ragu untuk hubungi saya.
Bersekolah untuk sebagian anak adalah hal yang sederhana. Untuk Muksin, bersekolah adalah perjuangan besar. Kami memutuskan untuk ambil bagian dalam perjuangan itu.
*) we're currently working on formal proposal. Sementara itu, gambaran kebutuhan anggaran Muksin dapat anda akses di Bit.ly/AnggaranMuksin1603
Don't hesitate to let me know if you need another details :)