Purnama Kesembilan

By aghnia mega safira - April 08, 2016




Sungguh tak terasa, ini adalah purnama kesembilanku di tanah Bima.

Bagaikan hari kemarin, ketika aku melihat purnamaku yang pertama. Malam itu malam bulan puasa. Cuaca sungguh dingin, sebagaimana cuaca biasanya saat musim kemarau di lereng Gunung Tambora. Aku masih gelisah-gundah-tak menentu. Malam itu adalah malam-malam pertamaku hidup di desa. Malam-malam pertamaku ditinggal Pengajar Muda sebelumku. Malam-malam pertamaku jauh dari orang-orang terdekat.

Kemudian aku melihatnya. Purnama yang sesungguhnya. Bukan hanya bulan-bundar menggantung di langit malam sebagaimana aku lihat di kota. Ini adalah terang bulan yang sesungguhnya. Padang bulan, padange kaya lina. (terang bulan, terangnya seperti siang). Aku masih ingat kekagumanku pada terang bulan itu. Terang yang begitu terang. Aku masih ingat bagaimana kagetnya aku melihat bayangan atap rumah di malam hari. Aku masih ingat bagaimana aku heran mencari penyebab dari bayangan itu. Ternyata, itu adalah terang purnama!




Bagaikan purnama pertamaku yang begitu terang dan indah, begitu pula aku mengenal kehidupan lereng Tambora. Aku mengenal anak-anak yang luar biasa cemerlang, polos, namun tak-diketahui keberadaannya dari pusat kota. Aku mengenal bagaimana guru-guru sebetulnya bisa begitu terang, namun sistem dan keadaan sekitar membatasi sinar mereka. Aku mengenal bagaimana warga desa begitu tulus dan tak hitung-hitung memancarkan kehangatan pada kedatanganku.

Bagaikan purnama pertamaku, bulan pertamaku di lereng Gunung Tambora begitu terang dan indah.

Sungguh tak terasa, ini adalah purnama kesembilanku di tanah Bima.

Aku ingat purnama keduaku. Aku telah memberi tahu semua orang dekatku, teman-pacar-keluarga, bahwa purnama disini begitu terang. Bahwa sinar bulan disini begitu hangat, tulus, dan seperti juga semangat orang-orangnya, total tak-terbayangkan. Aku menunggu-nunggu ia datang. Aku begitu bersemangat menunggu-nunggu pancarannya.

Di bulan keduaku, aku bersemangat pula menunggu-nunggu hasil “pekerjaan besar” pertamaku. Di bulan kedua, aku dan guru-guru merancang rapat komite yang sudah menjadi cita-cita empat orang Pengajar Muda pendahuluku.

Meski hasilnya ternyata tidak sesuai bayangan kami, aku bahagia karena aku mulai berteman dengan kehidupan di lereng ini. Sebagaimana masyarakat desa mulai berteman dengan pendidikan. Sebagaimana aku mulai berteman dengan pancaran sinar bulan yang begitu terang.

Hari berganti hari, purnama datang dan pergi. Di purnama keenam, aku menemukan ia ternyata tak selalu benderang. Akhir tahun adalah musim cemberut bagi langit lereng Tambora. Musim hujan datang, mendung tebal menggantung. Purnamaku tidak terlihat. Bulan keenam adalah bulan dimana aku sering diterpa gundah. Banyak hal berjalan ternyata tidak sesuai rencana. Keindahan-keindahan yang tercapai di bulan-bulan awal tiba-tiba dihantam banyak hal tak-terduga.

Namun kemudian aku sadar. Tepatnya, aku disadarkan anak-anakku. Lewat hujan yang menerpa kami setiap pulang sekolah. Bukannya bersungut-sungut, sedih, gelisah, setiap hujan datang mereka akan sibuk bersiap-siap. Bersiap-siap melepas sepatu dan tas. Bersiap-siap meninggalkan buku-buku penting di kelas agar tidak basah. Bersiap-siap memasukkan bawaan lain ke kantong kresek. Bersiap-siap bersahabat dengan hujan. Bersiap-siap untuk bahagia.

“Life is not about waiting the storm to pass. It’s about learn to dancing in the rain.”
Ya, aku belajar berdansa di tengah hujan dari anak-anakku. Aku belajar menyikapi masalahku dengan bahagia. Bahwa semua ini bukan tentang bagaimana masalah-masalah itu ada. Semua ini adalah tentang bagaimana aku menghadapinya.

Oh ya, ternyata purnama keenamku tetap ada. Ia tertutup awan, bukan berarti ia berhenti bersinar, kan? Aku hanya belum melihatnya saja.

Sungguh tak terasa, ini adalah purnama kesembilanku di tanah Bima.

 Ia tetap terang. Ia tetap indah. Aku tetap tak bosan-bosan memandangnya. Sebagaimana aku tak bosan mendengarkan celotehan pasukan jagoanku setiap perjalanan berangkat sekolah. Sebagaimana aku tak  bosan menonton tingkah mereka di lapangan setiap pagi menunggu guru datang. Sebagimana aku tak bosan tertawa melihat mereka berebutan bercerita setiap aku kembali dari Kota Kabupaten.

Sungguh tak terasa, ini adalah purnama kesembilanku di tanah Bima.

Aku hanya punya tiga purnama lagi. Aku hanya punya tiga bulan lagi. Itu masih dikurangi banyak hari yang harus aku lewati di Kota Kabupaten, demi mengurus berbagai pekerjaan-menjelang-pulang. 

Aku hanya punya kurang dari seratus malam lagi untuk melihat banyaknya bintang di langit malam Tambora. Aku hanya punya kurang dari seratus hari lagi untuk melihat terangnya bulan purnama Tambora. Aku tinggal punya beberapa minggu lagi untuk berjalan-satu-jam-setiap-pagi menuju sekolah bersama pasukan jagoanku. Aku tinggal punya beberapa minggu lagi untuk menjawab begitu banyak pertanyaan saat aku mengajar rangkap enam kelas karena tak ada guru lain datang ke sekolah.
Aku tinggal punya sebentar lagi.

Tapi aku yakin.

Meski kelak aku tak bisa lagi bersama pasukan jagoanku, aku yakin mereka akan seperti purnama.


Mereka akan tetap bersinar terang, meski aku tak selalu bisa melihat mereka.


Aku yakin.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments