Beberapa hari terakhir, media ramai memberitakan mengenai kepergian seorang seleb yang juga komedian, olga syahputra. Beberapa orang teman menilai berita menenai kepergian olga ini overreacted, padahal ada kepergian lain yang sama menyedihkan di hari yang sama seperti Mohammad Isnaini yang berpulang saat mengemban tugas sebagai guru melalui program SM3T.
Saya sendiri sudah terbiasa dengan media Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk "latah" seperti ini. Saya jadi ingat, ketika olga sedang mengalami "masa jaya" dimana dalam sehari ia bisa muncul di lebih dari 4 acara di stasiun tv yang berbeda-beda. Humor yang ditampilkan olga kadang bukan menjadi selera saya, namun kemunculannya yang terus-menerus membuat saya cukup familier. Saya bahkan ingat pernah bertanya di ruang keluarga "buset, kenapa ya olga bisa tenar parah. Lucu juga banyak yang lebih lucu, cablak juga banyak yang kayak gitu."
Minggu lalu, saya menonton tayangan yang dipandu ruben onsu, sahabat dekat olga. Ruben bercerita bagaimana mereka dulunya berjuang untuk bisa terkenal di dunia hiburan. Saat mereka masih susah, tidak punya uang apalagi mobil mewah seperti sekarang. Susah yang bener-bener susah, tinggal di rusun murah, latihan untuk siap masuk ke dunia entertain, makan di warteg, dan sebagainya.
Saya yakin banyak orang ingin terkenal. Banyak orang pengen jadi artis. Banyak orang yang pengen punya duit berlimpah, mobil mewah, dari hasil kerja yang "cuma" ngelucu atau "cuma" cablak. Tapi, saya ga yakin banyak orang mau ngotot masuk ke dunia entertain saat makan udah susah, nongkrong harus di pinggir jalan saking gapunya duit, tinggal harus di rusun murah karena gapunya kerjaan, dan ngotot gamau cari kerjaan lain karena latihan terus-terusan biar bisa masuk dunia entertainment.
Entah berita tentang olga ini overreacted atau engga, saya belajar keberanian dari sini. Waktu kecil, kita diajarkan keberanian lewat dongeng pangeran-yang-masuk-hutan-menyelamatkan-putri-tidur, atau klenting-kuning-yang-menolak-yuyu-kangkang. Semakin dewasa, kita semakin paham kalo keberanian mengambil pilihan akan membawa kita pada konsekuensi yang harus dihadapi.
Seperti cerita olga, mungkin banyak orang yang menghentikan ke-"pengen jadi artis"-an nya saat duit udah dikit, dan milih kerja aja biar bisa makan. Dan itu ga salah, karena itu adalah pilihan masing-masing.
Saat ini, saya sedang mempersiapkan keberangkatan saya menuju camp pelatihan Indonesia Mengajar angkatan X. Saat beberapa kerabat mengetahui saya diterima sebagai Calon Pengajar Muda, tidak sedikit yang berkomentar negatif.
"ngapain mba? Kenapa ga kerja aja?"
"Lah, kirain abis lulus mau cabs ke ibukota, kenapa malah ke pelosok?"
"Itu digaji ga? Gede ga? Ngapain sih?"
"Kalo menurut aku sih mending kerja dulu aja atau sekolah dulu aja"
Ada juga komentar-komentar yang seperti ini:
"Aduh seru ya ikut IM, aku pengen nih, tapi aku takut susah ke kamar mandi kalo di pedalaman gitu2"
"asik ya ikut IM, aku pengen nih, tapi itu setaun banget ya? Gaboleh 1bulan aja gitu?"
"Aku pengen tapi aku kerja, tapi aku mau menikah, tapi aku males bikin essay, tapi aku gasuka ngisi2 kolom organisasi, dan segala tapi-tapi lainnya.....
Sekali lagi, semua itu ga salah, karena itu pilihan.
Banyak teman-teman saya yang menemui banyak masalah untuk terus lanjut sebagai CPM. Mulai dari ijin keluarga, diputusin pacar, keluar dari kerjaan bonafit, kebut tesis biar lulus sebelum pelatihan, ga ikut wisuda, dan sebagainya. Belum lagi konsekuensi yang sudah pasti harus dihadapi seperti jauh dari orang terkasih, jauh dari teknologi yang memanjakan, adaptasi dengan dunia baru, serta yang pasti, tanggung jawab baru.
Entah apa yang membuat 70an orang CPM angkatan X Indonesia Mengajar, sebagaimana pendahulu-pendahulu kami, memilih untuk terus di jalan ini.
Bahkan saat pelatihan belum dimulai, Indonesia Mengajar sudah mengajarkan saya mengenai satu hal, yaitu pelajaran mengenai keberanian.
♥
♥
1 comments
mbak meeeggg, ditunggu cerita lainnya yaaaa :D
ReplyDelete