Ngapain Sih, Masih Aja Ngurusin Tambora? (Part 1)
By aghnia mega safira - December 06, 2018
INA RYAN
“Ibu tuh mikirin anak-anak disini, meg. Masa mau bodo terus. Masa mau gak bisa baca terus.”
“D memang udah nggak sekolah disini. Tapi kan Ibu mau cari akal supaya anak-anak disini belajar. Kalau orangtuanya, baca aja mereka nggak bisa, Mega….”
Ada beberapa hal yang gue pertanyakan minggu ini (harusnya post ini naik hari minggu haha maap). Bisa jadi penting, bisa jadi enggak. Tapi kesel. Tapi here we go, karena katanya kalau semua tanya udah ada jawabnya sih bukan hidup namanya (haha)
Kasus Baiq Nuril
Gue akan jabarkan kasusnya dulu sesingkat gue bisa, sebagai background:
(btw ini based on cerita beliau di Mata Najwa Rabu 21/11 kemaren ya)
- Baiq Nuril ini guru honorer SMA di Lombok. Selain ngajar, doi juga membantu Kepsek di bidang administrasi sekolah sesuatu gt (maap gue lupa).
- Singkat cerita, dia sering dipanggil ke kantor kepsek. Kesaksiannya, cuma 2 menit ngomongin kerjaan. Sisanya, si kepsek cerita soal dia berhubungan seks dengan orang yang bukan istrinya. Ini terjadi berulang-ulang, bahkan di telepon juga.
- Nuril gerah, lebih karena untuk pembelaan diri, direkamlah percakapan ini.
- Temen-temen Nuril di sekolah ini bete ama kepsek (gue lupa karena apa), terus mereka cari-cari kelemahan kepsek. Entah gimana ceritanya, mereka tau Nuril punya rekaman si kepsek lagi sexual abusing. Diminta lah rekaman ini. Nuril gak mau, dipaksa, dan akhirnya mereka dapet. Inilah awal mula rekamannya tersebar.
- Nuril didakwa UU ITE karena penyebaran rekaman telepon berbau asusila.
Tapi ngobrol sama adek gue @sarwdy si anak hukum, ya emang gitu. Kenapa? Karena ini ngomongin UU ITE. Jadi ya ini substansi kasusnya adalah gimana Nuril emang somehow terlibat dalam penyebaran rekaman ini, dan diproses berdasarkan UU ITE.
Lah kampring. Terus gimana, dia kan korban? Ya balas lapor, berdasarkan UU Pelecehan Seksual / Perbuatan tidak menyenangkan / UU lain yang mendukung. Jadi intinya kasus ITE emang harus dilanjut, tapi buka kasus baru yang soal pelecehan seksual, dimana yang jadi substansi: pelecehan seksualnya. bukan penyebaran rekamannya.
YANG JADI TANDA TANYA BUAT GUE: (maap nih emosi)
NURIL GAK MAU BALAS LAPOR. KENAPAAA? ini kutipan pengacaranya:
(Kata Bu Nuril) Pak kalau saya laporkan pak muslim, bagaimana dengan anak dan istrinya, yang sekarang sudah menerima hukuman sosial yang luar biasa?
Joko Jumadi
Kuasa hukum Baiq Nuril
Itu adalah rasa kemanusiaan yang luar biasa dari Bu Nuril, untuk tidak mau melaporkan kembali Pak Muslim.
Joko Jumadi
Kuasa hukum Baiq Nuril
Lah…. Paham gak lo?
Btw Bu Nuril ini udah pernah dipenjara berapa bulan gitu karena kasus ini. Dan… si Ibu ini tuh sebaik itu…
kayaknya ini yang waktu itu pernah gue perdebatkan sama salah satu senior gue maha baik hati @dhimasl dulu banget. Gue kan anaknya dulu kayak: “Kalo lo baik sama gue, gue akan 1000x lebih baik. Kalo lo jahat, gue akan 1000x lebih jahat.”
Si temen gue ini lalu tanya, kenapa gak baik aja, Meg, sama semua orang?
Si temen gue ini lalu tanya, kenapa gak baik aja, Meg, sama semua orang?
Disitu gue mikir sih. Gue gak bilang gue yang sekarang udah bisa baik sama semua orang termasuk yang jahatin gue, tapi kayaknya gue sekarang lebih mikir aja sih. Gak sereaktif dulu. Gak buang-buang energi yang ga perlu seperti dulu jaman muda~ hahahah
Nah gue ga paham sih asli, apakah yang dilakukan Bu Nuril ini adalah kebaikan hati atau gimana. Tapi kan ini negara hukum, dan si hukum berupa UU ITE aja tuh udah ngegituin diaaaaa, gemas! Tapi on the other side, gue yakin banget Bu Nuril udah menimbang ini itu yang terbaik. Mungkin dia lelah juga sama proses hukum berlarut-larut, who knows.
Gue masih belom bisa dapet pelajaran dari kasus ini, karena masih belom masuk aja di akal gue huhu mungkin gue emang kurang baik hati :’)) Mungkin ada yang bisa kasih gue pencerahan?
Yang jelas, gue berdoa bu Nuril dan keluarganya mendapatkan keadilan yang terbaik. Aamiin.
Tanda Tanya Minggu Ini #1: (Lagi-lagi) Kampanye Politik
By aghnia mega safira - November 26, 2018
Partai Buatan Bowo, politik pasar, sontoloyo, dll. Wah udah males banget sih sebenernya ngomonginnya tapi gimana :(
Mengutip seorang professor yang pagi ini gue tonton di Kompas TV, (gue lagi-lagi lupa kutipan tepatnya, intinya adalah:
Yok kita hentikan blunder-blunder istilah. Kita mulai blunder-blunder program.
Mengutip seorang professor yang pagi ini gue tonton di Kompas TV, (gue lagi-lagi lupa kutipan tepatnya, intinya adalah:
Yok kita hentikan blunder-blunder istilah. Kita mulai blunder-blunder program.
Udahan yoook ngomongin isu-isu yang permukaan dan ga sampe ke substansinya. Gue pernah ngoceh puanjang banget di IG Story soal gimana politisasi IMF-WB Annual Meeting di Bali, Oktober lalu. Intinya adalah:
(kalo terlalu kepo, bisa cek story lengkapnya di highlight IG gue: AM 2018 Bali)
Menanggapi saling blunder istilah kedua capres, bapak professor di Kompas TV tadi juga bilang: ini hal biasa di dunia marketing. Satu jadi market leader, yang lainnya bakal follow. Dia ga nyebutin sih siapa yang market leader dan siapa yang follow, tapi pemikiran pertama gue, kalo market leadernya gak oke, ngapain diikutin? hiks.
Tapi apakah mungkin ini semua karena kita rakyat Indonesia emang doyannya sensasional doang? Jadi girang dikasih blunder-bluncer istilah, sementara ngomongin program, visi misi, logika, dll malah belom tentu laku?
Gue pun gak tau. Tapi gue gak mau sih kayak gitu :(
At least buat diri sendiri, sepertinya pilpres ini belom-belom udah mengajarkan satu hal baik: gak emosian, gak termakan blunder, dan melihat sesuatu secara substansional.
Ralph Break The Internet: Film Kartun Mid-Life Crisis
By aghnia mega safira - November 24, 2018
Malem ini gue, A, dan adik gue si Sarah nonton Ralph Break The Internet, sekuel dari film Wreck it Ralph. Seperti film pertamanya, film kartun ini masih mempersembahkan cerita yang menurut gue pas banget untuk ditonton orang dewasa.
Intinya sih tentang gimana persahabatan selalu ada, meskipun kita memutuskan untuk berubah demi mengejar mimpi/passion/apapun.
Pesan ini keren dan tersampaikan cukup kuat, tapi gue justru tertarik dengan sisi lain dari cerita ini: menemukan passion.
A send me this earlier. I think this pic worth a blogpost because I thank God everyday that it is happen in our real life.
What is the hardest thing to say?
Some would say it is ‘Thank You’. Other would say it is “I Love You’. Or “Would You Marry Me?”
I think, it is ‘Sorry’.
The hardest part of letting go is the moment right before we’re doing it. At that moment, we already know by heart that we let this go, but we didn’t do it yet.
Why would we let go? Or should I say… Why should?
The cheesy answer: I don’t know, but sometimes we should do what we should do, right?
The logic answer: We designed and built as a person with certain capacity. I think our life is also have it’s limit. That’s why, we know the very concept of priority.
Couple weeks ago, I turned down a very great job offer. That was one of a job of my dream. They offers to do what’s I really passionate about (strategies, writing, presentation, communication stuff), space to explore (not technical work with SOP), GREAT salary, great opportunity, foreign bosses (I always excited to work with people form different culture, I enjoy learning and improving my english, and I love the work style where people are individual but helpful), strategic office place, 9-5 strict work hour, some business trip (yes I ALWAYS love to travel).
The reason is... with his job now, A can be easily moved to another place at every time. The offer I’ve got require me to stay at least couple years in Jakarta. “We are looking for someone who is not likely to move away once they really start to get good at their job” is exactly what they said. I know right away I have my choice already.
Even though we already decided to stay together, A asked me to rethinking my decision. He gave me the freedom, he even offered some of alternative plan if I decide to take the job. We talked, and finally I decided to turn down this offer.
This IS a heartbreaking moment for me. Always be an ambitious kid behind, with a certain childhood circumstances, my reflect is to make myself survive. I used to fight my own battle.
But when I look back, I realize what kind of person I’ve became. This last 16 months, I grew a lot. I am not happy with some of my attitude back then, but I am happy now that I know it, and I’m on my way working to be the better version of my self.
I am not lying when I’m telling that yes, marriage close some doors for me. But as those classic proverb said, when a door is closed, there will be another opens. If not because of all the circumstances, I won’t be near what I've became today.
“MEGA. HARUS DIPAKSA.” // “Lo tuh suka mikir, tau.”
I got this kind of expression A LOT. First sentence is about my procrastination habits. The second one is about my overthinking habit.
Apa rasanya kerja frelance?
Di minggu pertama, masih bersemangat banget ngutak atik rumah, masang pigura, bersih-bersih, ini itu.
Di minggu kedua ketiga, asli bener-bener clueless sih, gak tau mau ngapain. Secara belom pinter cari job juga.
Di minggu keempat, gue mulai overwhelmed. Ngantor sih enggak. Berangkat pagi juga kadang-kadang doang kalau ada panggilan. Tapi sekalinya berangkat, sampe rumah di atas jam 10 malam sih jadi udah pasti. Abis itu, sampe rumah masih lanjut kerjaan lain? Oh tentu saja sudah biasa~
Di minggu pertama, masih bersemangat banget ngutak atik rumah, masang pigura, bersih-bersih, ini itu.
Di minggu kedua ketiga, asli bener-bener clueless sih, gak tau mau ngapain. Secara belom pinter cari job juga.
Di minggu keempat, gue mulai overwhelmed. Ngantor sih enggak. Berangkat pagi juga kadang-kadang doang kalau ada panggilan. Tapi sekalinya berangkat, sampe rumah di atas jam 10 malam sih jadi udah pasti. Abis itu, sampe rumah masih lanjut kerjaan lain? Oh tentu saja sudah biasa~
Urun sikap banget nih judulnya?
Temen-temen pernah denger gerakan #TumpukDiTengah nggak? Itu loh, yang beberapa waktu ini lumayan viral di instagram. Jadi intinya, gerakan ini mengajak kita membereskan bekas piring makan kita, kemudia menumpuknya di tengah meja saat di restoran. Dengan begini, si pelayan cuma tinggal angkut aja, ga beresin piring di meja lagi.
Gerakan ini menyimpan banyak maksud ga sih? Yang udah jelas kan membantu pekerjaan pelayan, tapi di balik itu sebetulnya kita juga menghargai pekerjaan dia karena mau ‘mengambil’ sebagian kerjaan dia dan kita kerjain. Ini jelas oke sih, karena di negara kita kadang-kadang pelayan dianggap sebagai nomer 2 ga sih? Disuruh-suruh, ga pake makasih pula.
Sebenernya tuh saya lagi lagi gemes banget sekaligus lagi sering banget kepentok diingetin untuk menghargai orang lain. Kenapa judulnya urun sikap, emang karena berasa lagi sering banget diingetin kalo emang harus bersikap riil dan nyata, ga cuma ngomong saya menghargai orang, saya menghargai orang, tapi gimana mengimplementasikannya dalam sikap nyata. Hiks.
Saya baru-baru ini mendaftar untuk ikut kegiatan kerelawanan menyelenggarakan seminar gratis buat guru-guru di daerah gitu. Kebetulan, saya dulu pernah membantu acara ini saat menjadi Pengajar Muda di Bima. Praktis, saya kenal dengan beberapa panitianya, termasuk koordinator divisi yang saya incar untuk saya daftar.
Ketika mengakses formulir pendaftaran, saya liat pertanyaannya ada 44 aja dooong. Itu data diri dan mungkin ada sekitar 10 atau sekitar itu yang isinya essay panjang-panjang. Maaak! Saya berkali-kali nyambi ngisi di KRL dan di perjalanan, tapi ga kelar-kelar. Akhirnya malam ini saya duduk manis di depan laptop dan mengisi essay-essay itu dengan serius.
Gak berapa lama setelah saya selesai isi formulir dan klik submit, saya dikirimi pesan whatsapp sama salah satu panitia yang berpengaruh. Intinya dia mengkonfirmasi apa benar saya daftar, dan saya mengiyakan. Dia berkata ia senang, dan saya ga tau dia bercanda apa engga, dia bilang “Ah elo mah tulis nama juga langsung masuk.” Tanpa bermaksud pamer, saya ga kaget sih sebetulnya dengan pertanyaan dia. Beberapa bulan lalu saya juga udah ngobrol sama panitia lain dan berkata mereka akan senang kalau saya gabung. Lalu kenapa saya memilih mengisi essay-essay panjang itu dengan serius? Simpel, karena saya ingin menghargai proses. Karena saya ingin menghargai si panitia-panitia itu.
Saya masih belajar banget nih untuk urusan menghargai-menghargai ini. Salah satu yang sering bikin saya (dan mungkin teman-teman yang setujuuuuu!) emosi adalah soal memotong antrian. Dengan memotong antrian, itu berarti ga menghargai orang-orang yang udah ngantri ya nggak siih? Dengan diam aja saat antrian kita dipotong, itu berarti kita membiarkan ada sesuatu yang salah terjadi di depan mata kita gitu ga siiiiih?
Saya tentu termasuk orang yang bakal seprotes itu kalo antrian saya dipotong. Tapi, yang harus saya perbaiki kayaknya gimana menyampaikan protes itu dengan ga emosional, ga ekspresif, dan lebih halus. Tapi pokoknya ketidakadilan ini harus diselesaikan! Smangat!
Mendengarkan sambil kontrol biar ga motong pembicaraan dan kontrol ekspresi saat omongan si pembicara yang ngomong sama kita udah ga sesuai dengan kita (susah!); Ga nunda bales whatsapp pas lagi bisa pegang HP (bales WA ga bisa tapi scrolling IG lancar. Loh apa itu saya doang? Hahaha); Bilang “MAKASIH” dan “TOLONG” ke mas-mba pelayan dimanapun atau ke siapapun sih ga harus mba mas pelayan aja hahaha; Kalo ada butuh dan harus whatsapp orang minta tolong, basa basi yang bagus dulu biar bikin orangnya nyaman; kayaknya adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan deh untuk menghargai orang lain. Intinya, small things matter!
Caution: this post might be bore you but helps me reflect a lot about my self so if you wanna give this a try, why don't you read the points first? Therefore if you don't interesting you could just left in a bit! :)
Dulu, saya pernah direkomendasiin kak Lisa untuk nonton TED Show dari kolumnis NY Times David Brooks yang ngomongin tentang eulogy portfolio. Intinya sih kata om David, dalam hidup ini biasa banget bagi kita buat nyiapin CV, portfolio untuk cari kerja, cari proyek, dan cari-cari yang lain yang sifatnya duniawi. Tapi pernah ga sih kita siapin CV, portfolio, yang sifatnya ragawi? (Yah doi sih ga bilang ragawi tapi kata-kata dia sih nyiapin eulogy alias di barat sana kan saat ada yang meninggal akan dibacakan kenangan-kenangan selama si orang yang meninggal itu hidup. Nah mau dikenang sebagai orang yang cuek, baik, perhatian, positif, or pesimistis or orang kayak apa kah kita?)
Meski budaya di tanah air beta ini ga mengenal eulogy, tapi dapet ga sih poinnya? Kita (paling engga akyu sih) suka secara sadar dan niat bikin target-target. Target pencapaian finansial, pencapaian karir, pencapaian eksistensi diri, pencapaian sosial, de el el. Tapi kadang-kadang suka lupa kalo pencapaian ragawi (ciee ragawi) juga kayaknya penting deh direncanakan secara sadar.
Oleh karena itu, mengikuti semangat om David, kalo tiap awal taun baru kita bikin resolusi taunan, lebaran ini saya juga mau bikin resolusi hari lebaran! Kalo resolusi taunan biasanya tentang pencapaian duniawi yang bisa diukur, kayaknya seru (dan berfaedah kayaknya) kalo melakukan hal yang sama buat resolusi lebaran ini.
So here we go, my lebaran resolution and where I got the reflection from:
- I will learn from others. I will not judge others easily, I will not questioning somebody without thinking.
- I will erase those kind of question and judgement not only from my mouth but also my mind (ga cuma berusaha menghentikan mulut yang sering offside ini, saya juga pengen coba mengatur kata hati huhu)
- I will cover both sides in thinking. I won't be fanatic or extreme or anti extreme or anti fanatic (jadi gemini yang lebih sabar dan menahan diri untuk mikir kalo mau ekspresif)
- Ngefans sama perbuatan, bukan sama sosok (kecuali sama Nabi Muhammad dan sama suami kali ya hahaha)
- Memaafkan
Menulis postingan ini membantu saya berefleksi kayaknya emang ini deh selama ini sifat-sifat negatif saya huhu. Mudah-mudahan perlahan-lahan bisa dikurangi bersamaan dengan semangat lebaran. Bismillah!
Mudah-mudahan momen lebaran teman-teman semua hangat dan penuh berkah yah! Untuk yang sudah kembali ke rutinitas, mengutip ceramah Ustad Erick Yusuf, ada pesan bagus:
"Kalo lebaran, bukan cuma bajunya yang baru, tapi hatinya yang baru."
Selamat menempuh hidup pasca lebaran dengan hati yang baru! :)
"Kalo lebaran, bukan cuma bajunya yang baru, tapi hatinya yang baru."
Selamat menempuh hidup pasca lebaran dengan hati yang baru! :)
Iya, judulnya emang agak-agak abstrak. Seabstrak blog ini yang updatenya se-timbul-tenggelam itu, seabstrak blog ini yang terakhir update mayan rutin adalah dua taun lalu.
Hmm dua taun. Lantas kemana aja, bu, dua taun ini? Apa nggak ada hal-hal menarik di kehidupan ibu yang worth diceritain di blog?
Yaaah pasca pulang jadi Pengajar Muda di Bima, kehidupan nyata emang bak roller coaster yaaa. Ada yang emang flat aja, ada yang se-worth it itu sampe rasanya mau disimpen sendiri aja dan nggak mau ditulis di blog hihihi. Intinya sih banyak alesan. Intinya sih ga jago aja ngatur waktu (dan ngatur hidup)
Lalu kenapa sekarang tiba2 ngeblog? Apa sudah jago ngatur hidup?
Engng. Ga juga sih. Tapi, di usia 25 lewat enam hari ini, saya alhamdulillah super bersyukur karena dikasih jalan untuk mengambil keputusan yang lumayan besar:
berhenti ngantor.
(Society commentators mode on:" What? Berhenti ngantor? Ooh mau program ya? Mau cepet punya anak ya? Mau full-time jadi ibu rumah tangga ya?"(Emang kalo ngantor, bukan full-time ibu rumah tang? Ahhh kemarahan akan stigma seperti ini rasanya bisa jadi 1 post sendiri ya hahaha))
Sudahlah kita teguh saja menghadapi kehidupan dan segala komentar ini, karena di mata netijen yang sempurna hanyalah instastory. Balik ke alesan kenapa ngeblog, iya, saya sekarang berhenti ngantor dan fokus kerja dari rumah.
Kerja apa? Mostly bisa didefinisikan dalam dua kata: memanggang dan menulis.
Iyaaa, saya usaha kecil-kecilan jualan brownies, baru mulai seminggu terakhir aja dan lalu libur lebaran karena mudik. Laku? Alhamdulillah, pokoknya baking nya bikin pegel dan kaki berasa toklek kayak pertama kali jalan ke SDN Tambora pas jadi Pengajar Muda deh. Bangun bangun kram. (Atau dakunya aja yang lemah ga pernah gerak? Hihi)
(Society commentators mode on: "ooh kerja di rumah, malah enak ya, ga capek kan daripada ngantor?" Jawab dengan senyuman aja gaes sambil inget dulu pas ngantor paling pol berdiri kesana kemari pas training yang ada nya ga sebulan sekali dimana selain itu duduk manis di ruang meeting atau depan PC)
Menulis? Emang penulis? Hihi saya sejak beberapa bulan ini memang freelance menulis komunikasi strategi buat kepentingan branding bareng sama agency-agency komunikasi. Jadi kalo ga baking atau nyolong-nyolong bobok siang, saya dipastikan di depan laptop.
(Society commentators mode on: "Waaah enak yaa, kerja freelance waktunya fleksibel kan!" Sekali lagi, senyumin aja gaes, ya masa mau cerita kadang-kadang revisi dateng pas lagi ngedate sama pak suami terus sepanjang perjalanan pulang ngerjain revisian pake HP? Masa mau diceritain bos freelance akyu yang juga ga jadi nonton gara-gara kejar deadline revisian yang sama? Sekali lagi, senyumin ajaaaah :))
Jadi, hidup aman lah ya udah ada kerjaan? Yah, namanya aman sih yang sekarang punya kerjaan tetap juga kalo Yang Di Atas udah bilang kunfayakun, apa sih yang ga bisa diambil?
(Terjemahan: ehmmmm ya punya proyek nulis sih sampe beberapa waktu ke depan tau abis itu bismillahirrahmanirrahim aja :" dan jualan browniesnya juga insya Allah sih tapi kalo ga lebaran juga gatau serame apahahahaha)
Intinya: bismillah :" dan kalo ada proyekan nulis, atau fasilitasi, atau ngajar esde, atau mau pesen brownies, jangan lupa kontak akyu ya :'))
Ohya, nawaitu lainnya adalah mau lebih fokus ngerjain si anak angkat kesayangan dan rumah belajar kaki Gunung Tambora. Aamiin.
Dan tentu saja: ngeblog. Supaya kalo nanti mudah-mudahan dipercaya dititipin anak sama Yang Di Atas, bisa keliatan trek hidup ibunya (yang mudah-mudahan ga ngaco-ngaco banget ini). Aamiin!
Jadi, welcoming back the blog to my life, mudah-mudahan konsisten!
Nb: kalo ada yang pengen tau (engga ada juga gapapa hahaha), saya hepi nggak dengan keputusan ini, alhamdulillah galau 4 bulan dilema resign-engga-resign-engga ini berakhir bahagia sampai detik ini sih ya. Mudah-mudahan sampai seterusnya! Ada aamiin? Aamiin)
Credential
Copywriting and Strategic Planning
Journalistic Works
RBTH Indonesia
Voice Over
VO Campaign
Social Project
Open Trip - Liputan oleh Loket.com
Meraih Mimpi Muksin - Proposal pendidikan
Festival Dongeng - Liputan Jawa Pos
Copywriting and Strategic Planning
Journalistic Works
RBTH Indonesia
Voice Over
VO Campaign
Social Project
Open Trip - Liputan oleh Loket.com
Meraih Mimpi Muksin - Proposal pendidikan
Festival Dongeng - Liputan Jawa Pos